Ad Code

Responsive Advertisement

Rumah Singgah

Rumah Singgah 

Oleh: Rusti Lisnawati

Menurut jam dinding yang menempel di warteg depan jalan raya kota, sekarang pukul satu dini hari. Sudah waktunya pulang. Ukulele aku sampirkan ke bahu. Kantong plastik yang mengandung banyak uang receh aku lipat sedemikian rupa biar bisa dimasukkan ke kantong celana. Sebelumnya, aku sudah mengambil beberapa keping uang logam untuk membeli nasi goreng di pertigaan depan sana. Untuk bisa sampai ke lapak penjual nasi goreng, aku hanya perlu berjalan selama dua puluh menit. Biasanya, untuk mengalihkan perhatian pada waktu, sambil berjalan sambil bersenandung kecil. Tahu-tahu aku sudah sampai.

Sekitar sepuluh orang beda usia sedang duduk lesehan menikmati nasi goreng buatan Pak Edi. Dari sepuluh orang itu, mataku tidak sengaja melihat seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya. Tepat di belakang Pak Edi. Lalu, tidak jauh dari ibu itu, seorang bapak yang makan sambil memangku anak laki-lakinya yang tertidur pulas. Dilihat dari baju yang dikenakan, aku mengira mereka adalah rombongan yang baru pulang dari bepergian jauh dan kebetulan sedang lapar. Melihat adegan manis yang tak jauh dari mata kepalaku sendiri, muncul sebersit keinginan untuk bertukar jiwa dengan anak yang disuapi ibu atau dengan anak yang tidur di pangkuan bapak.

“Saki!”

 

Kesadaranku berhasil diselamatkan oleh seruan Pak Edi. Aku kembali pada niat awal datang ke sini: beli nasi goreng bukan berangan jadi anak yang lain. Aku bergegas mendekati Pak Edi yang berdiri di depan gerobak. Dia memberiku kursi plastik. Tanpa minta izin atau bilang terima kasih, aku langsung menaruh pantatku di atas permukaan kursi plastik. “Nasi goreng satu. Seperti biasa. Jangan pakai sambal, jangan terlalu...”

“Jangan terlalu banyak minyak, sayurannya dibanyakin, telurnya yang matang, banyakin bawang goreng, kecapnya sedang saja, jangan pakai tomat, dan kerupuknya dua bungkus iya kan?” tanya Pak Edi yang sudah berani memotong perkataanku. “Wah, bisa hafal gitu ya, Pak. Padahal aku enggak terlalu sering beli di sini.” Pak Edi berhasil membuatku kagum. Tapi, sekagum apa pun aku padanya, tetap saja nasi gorengnya tidak bisa kubeli setiap hari. Bukannya bosan atau nasi goreng Pak Edi tidak enak, hanya saja uang yang didapat dari hasil mengamen tidak pernah tetap. Kadang aku bisa dapat banyak, kadang hanya setengah dari kantong plastik yang biasa kubawa, kadang hanya cukup untuk membeli satu bungkus nasi.


Besar kecil uang yang aku dapat di jalanan bukan masalah serius. Toh aku bukan orang yang haus harta. Prinsipku, selagi bisa bermain ukulele dan membuat lagu ala-ala itu sudah cukup mengundang bahagia. Pak Edi yang hafal pesananku juga termasuk jenis bahagia, soalnya aku tidak perlu lagi menyebutkan nasi goreng seperti apa yang aku mau. Tinggal duduk manis sambil melihat-lihat jalan atau bulan.

“Lihat deh, Pak, bulannya cantik banget.” Pak Edi melihat ke arah yang aku tunjukkan. Ke bulan purnama. Laki-laki yang sudah berjualan nasi goreng selama hampir dua belas tahun itu tidak setuju dengan pernyataanku. Menurutnya, kalau mau bilang bulan itu cantik atau tidak, coba lihat dari jarak yang lebih dekat. Itu artinya kita harus pergi ke luar angkasa naik roket. Kenapa harus dari dekat kalau dari sini saja sudah kelihatan cantik? Lalu Pak Edi menjawab lagi, soalnya apa yang dilihat dari dekat dan apa yang dilihat dari jauh itu beda. “Kalau dilihat dari dekat, bulan itu banyak bolong-bolongnya. Kalau dilihat dari sini, dia kebantu sama jarak dan sinar matahari, Ki.” Pak Edi menyelesaikan kalimatnya dengan memberiku sebungkus nasi goreng lengkap dengan dua bungkus kerupuk udang. Aku menyerahkan uangnya. Lalu, bersiap pulang.

Aku berjalan lagi. Tidak kujumpai angkot atau ojek yang biasa mangkal dekat pertigaan sini. Tadi Pak Edi sudah memberitahu kalau belakangan angkot dan ojek hanya mangkal sampai jam sepuluh malam, sedangkan sekarang menuju ke jam setengah dua kurang. Mana ada kendaraan yang lewat. Terpaksa aku harus jalan lagi. Aku mengingat-ingat jarak dari tempatku sekarang berada ke rumah. Tiga kilometer apa empat apa lima kilometer ya? Aku lupa! Tapi tak ayal, aku terus berjalan mengikuti naluri. Sekadar informasi, ini bukan pertama kali aku pulang larut. Berani bersumpah, pasti saat ini entah Abang atau Mbak sedang mondar- mandir di depan rumah. Menunggu salah satu adiknya pulang.

Pukul dua lewat lima belas menit aku tiba di rumah. Dugaanku betul. Abang sedang menunggu kepulanganku. Dia tidur sambil duduk di kursi teras rumah. “Bangunkan jangan ya?”

Kalau kubangunkan takutnya mengganggu dia istirahat. Kalau tidak dibangunkan, kasihan dia tidur sambil duduk, di teras rumah pula. Di tengah kebimbangan itu, aku melihat seekor nyamuk menghisap darah di pipi Abang. Aih, sudah tidur duduk sekarang digigit nyamuk juga. Kasihan betul si Abang. Baru saja aku mau meniup nyamuk itu, tangan kekar Abang sudah lebih dulu menampar pipinya sendiri. Pukulannya melesat. Nyamuk yang sudah kenyang itu pergi, meninggalkan bekas merah di pipi Abang. Matanya menyadari kehadiranku.


“Baru pulang kau!” Meskipun diucapkan dengan nada rendah khas orang bangun tidur, aku tahu Abang marah. Kalau sudah marah, aku tidak berani menjawab dengan kata. Hanya mampu mengandalkan bahasa tubuh. Jadi, aku mengangguk saja. “Aku kira kau tidak akan pulang ke sini.” Abang menggaruk pipinya bekas digigit nyamuk. Matanya belum melek seratus persen, baru ketika sudah melek sepenuhnya dia sadar dengan sesuatu di tanganku. “Nasi goreng si tua bangka itu lagi?” Hanya Abang yang berani menyebut Pak Edi dengan sebutan tua bangka. Semua orang tahu Pak Edi sudah tua, tetapi semua orang juga tahu Pak Edi belum bongkok-bongkok amat.

Aku mengangguk lagi.

 

“Kau mau menyogokku dengan nasi goreng itu biar bisa masuk ke rumah terus kamu mengulangi kesalahanmu lagi?” Kalimat ini sudah berulang-ulang kali dimuntahkan mulut Abang ketika aku pulang larut. Abang mestinya sudah hafal dengan jawaban yang akan aku beri. Diam bukan penyelesai masalah. Walaupun sudah tahu, Abang mau aku menjawab. “Hanya rumah ini yang aku punya, Bang. Nasi goreng Pak Edi paling enak di dunia ini. Abang harus coba, apalagi ini gratis,” rayuku—yang itu-itu saja. Abang tidak setuju. Masih ada martabak, gulai kambing, rendang, tengkleng, semur jengkol, dan sate ayam atau sate kambing atau sate kerbau, dan masih banyak lagi yang lebih enak dari nasi goreng si Edi tua bangka itu. Dalam hati aku menjawab, bagaimana aku bisa tahu semua rasa dari makanan yang tadi disebutkan Abang kalau di rumah ini, setiap harinya hanya disuguhi tahu-tempe-sayur asem- ikan asin!

Walaupun membandingkan dengan makanan yang lain, bungkusan nasi goreng itu toh diambil juga sama Abang. Dia mempersilakan aku masuk. Seperti biasa, aku masuk dan bebas hukuman, Abang makan di luar. Tapi kali ini tidak. Aku tetap bergeming di tempat. Ada satu hal yang ganjil di hatiku dan harus segera mendapatkan jawaban. Biar yang ganjil itu bisa digenapkan. “Ada apa lagi? Kau mau makan ini juga?” Sejatinya Abang orang baik. Tidak jarang dia mengajak kami--anak-anak penghuni rumah ini—untuk makan sepiring bersamanya. Sesekali, dia membelikan kami makanan dan mengajak ke pasar malam. Meskipun ujungnya kami bakal disuruh mengamen atau kerja sampingan kalau mau jajan.

“Aku enggak lapar. Aku cuma mau tanya, boleh?” Biasanya aku langsung mengeluarkan pertanyaan yang bersemayam di kepalaku. Kali ini, entah mengapa aku merasa takut untuk sekadar bertanya. Aku perhatikan Abang. Dia mengangguk dengan kedua tangan sedang mencoba membuka bungkusan nasi goreng. Abang makan nasi goreng pembelianku.


“Waktu aku dikirim ke sini, ibu sama bapakku nitip pesan enggak ke Abang, mereka mau pergi ke mana?” Pertanyaan yang sederhana bukan? Tetapi gara-gara pertanyaanku, Abang menghentikan suapannya. Nasi di tangan Abang menggantung antara mulut dan udara.

“Jangan marah, Bang, aku cuma tanya,” ucapku. Kulihat tangan Abang menaruh kembali nasi yang hendak disuapkan. Dia menatapku tidak seperti biasanya. Matanya berair, merah, dan fokus di satu arah: aku. Mungkin itu efek baru bangun tidur. Iya, aku harap dugaanku kali ini tidak meleset. Aku terkesiap ketika salah satu tangan Abang menarik diriku untuk mendekat. Tubuh kecilku didekap. Abang juga berkali-kali mencium ujung kepalaku. Seketika aku merasa bersalah karena belum keramas satu minggu. Kasihan Abang harus mencium rambutku yang bau apak.

“Abang menemukan kamu di semak-semak depan gerbang rumah ini. Sendirian dalam kardus bekas air minum. Kamu nangis kejer waktu itu. Enggak ada ibu bapak yang mengantar, hanya sepucuk surat yang memberitahu Abang kalau nama kamu adalah Saki. Yang nulis surat itu berpesan supaya kamu dirawat di sini dulu. Nanti kalau sudah waktunya mereka bakal jemput kamu.” Tidak ada satu orang pun yang tahu kapan mereka bakal menjemputku. Abang, Mbak, bahkan Sagita anak yang paling tua sekalipun. “Berati aku bukan penghuni tetap rumah ini ya, Bang?” Tangan kekar Abang semakin erat mendekapku. Ia mengelus rambutku dengan lembut. Katanya, aku tetap penghuni sejati rumah ini sampai kapan pun. Abang menimangku, menyanyikan lagu kartun kesukaanku, lalu merebahkan aku di atas kasur tipis. Sayup-sayup aku mendengar Abang berbicara, “kasihan anak sekecil Saki harus berkelahi dengan banyak hal.”

Esoknya, jam sembilan pagi, setelah selesai membantu Mbak membereskan rumah aku kembali ke jalanan. Membawa Ukulele, satu kantong plastik, dan kali ini kuikutsertakan harapan. Dan, ketika jubah malam menutupi terang menggantikannya dengan gelap, aku menaiki bus antarkota. Kepada sopir, aku minta dibawa ke mana saja. Kalau bisa ke tempat yang bisa kusebut rumah.

***

 

Sudah hampir jam dua malam dan Saki belum terlihat batang hidungnya. Tadi pagi dia janji akan pulang lebih awal. Kalau tidak jam delapan ya jam sepuluh diusahakan sudah pulang. Mana buktinya sampai sekarang anak itu belum pulang! Tidak puas hanya menunggu sambil duduk, Amri, yang biasa dipanggil Abang oleh anak-anak termasuk Saki, bergegas mengeluarkan motor; mencari Saki ke perempatan jalan raya tempat anak itu mengamen. Tidak


butuh waktu lama, Amri tiba di tempat biasa Saki kerja. Dia berteriak ke segala penjuru dan tidak berhasil menemukan jejak tapak kaki Saki.

“Aih anak itu,” gumamnya. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh anak laki-laki berusia sebelas tahun itu. Apakah ia sudah makan? Apakah ia berada di tempat yang aman? Apakah ia kesasar? Apakah... Kepala Amri dipenuhi pertanyaan yang bermula dari apakah, hingga ia sadar dengan pertanyaan ‘kenapa’. Kenapa Saki menghilang? Eh, beneran menghilang, atau malah dihilangkan?

***

 

Kepada Abang, Mbak, dan teman-teman penghuni rumah, aku pamit. Aku mau cari mereka yang janji buat jemput aku. Barangkali mereka ada di kota lain. Terima kasih untuk semuanya. Aku pamit dulu, nanti kalau sudah ketemu mereka, aku balik lagi. Kita buat pesta kecil-kecilan, ya!”

Saki.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement