Sepotong Puzzle*
Oleh Jumiati
Barangkali kautelah lupa pada musim panas yang dipenuhi awan mendung itu, sebab sepanjang musim wajahmu selalu cerah, meski kadang dipaksa cerah. Pigura segi empat berisi puzzle utuh itu selalu kautatap dengan bangga. Kita sepasang puzzle yang saling mengisi dan menemukan, kau melengkapiku, aku melengkapimu, begitu katamu kala pertama memasang potret sepasang kekasih itu di dinding ruang tamu rumah barumu, kemudian sebuah kecup mendarat di pipimu, persis seperti di pigura. Sejak bertemu dengannya, kau jadi suka puzzle. Katamu kehadirannya seperti puzzle yang mengisi ruang kosong dalam hidupmu.
Kaupastikan puzzle-mu yang membentuk gambar cinta itu tak akan retak, sebab cintamu akan selalu membuatnya utuh. Tapi sore itu, sepulang kau mencari putrimu yang tiba-tiba bolos sekolah, kaulihat pigura kebanggaanmu, bukannya di dinding melainkan berbaring di lantai, di bawah sepasang kaki yang tanpa ampun menjadikannya berkeping-keping.
***
“Ayah, apa aku seperti ibu?” tanyaku lagi.
“Kau lebih baik daripada ibu untuk hal apapun,” jawab ayah.
“Ayah, tapi aku ingin dikatakan sepertimu juga,” kataku.
Ayah menjawab sambil mengelus kepalaku, “kalau begitu sayangi ibumu, seperti ayah menyayanginya, bagaimanapun dirinya.” Kulihat wajah ayah menyerana, melihat langit dari mulut jendela yang terbuka. “Nak, ada beberapa orang yang ketika kita mencintainya, kita harus buta pada kekurangannya dan hanya melihat kebaikannya,” pungkas ayah. Kulihat kesenduan di wajahnya yang menua.
Aku ingin mengangguk tapi bayangan ibu yang tak hadir saat ulang tahunku, saat aku sakit demam dan mengigaukannya, saat ayah sakit dan tak ada yang merawatnya. Bayangan ibu yang begitu saja memulangkanku dengan taksi sepulang acara kelulusan kemarin, sebab ia harus bergegas pergi bekerja. Bayangan ibu yang terus menerima telfon dan mengabaikanku, saat aku ingin bercerita padanya tentang soal matematika yang tak bisa kupecahkan bersama ayah, tentang gambar sepasang pohon pemberian ayah yang katanya tak sengaja ia masukkan ke tempat sampah, dan datang bulan pertamaku yang
menyebalkan. Bayang-bayang pulang pergi ibu yang tertinggal di pintu rumah dan di sepotong roti yang tak pernah ia habiskan saat sarapan, membawa kantuk semakin erat memeluk mata. Kurebahkan mimpiku di atas pangkuan ayah. Ayah yang dalam darahnya, tak mengalir darah yang seirama dengan darahku, tapi cintanya amat deras dari siapa pun.
Di luar rumah, pohon mengepakkan dedaunannya menyambutku di alam mimpi. Aku menjelma buah yang jatuh dari pohon, tapi hanya ada pohon ibu di sana. Rasanya aku ingin lekas bangun. Bangun dan segera memeluk seseorang yang selalu kupanggil ayah.
Dengan kebaikan-Nya, ayah selalu menjadi dahan kokoh tempatku merebahkan segalanya. Tapi pohon yang bertahun-tahun merindukan hujan itu, terlalu kering untuk dijadikan tempat bersandar. Di suatu musim panas, tubuh ayah yang telah amat lapuk, terbakar kesedihan yang tak pernah mampu ia bagi dan ceritakan. Seluruh dahannya terbakar. Dalam pusarannya, ia menjadi abu yang menyuburkan segala pohon di sekitarnya. Aku berduka sepanjang musim panas. Wajahku selalu mendung kontras dengan matahari di negeriku. Lagi lagi, orang-orang bilang hatiku amat perasa, seperti hati ibuku.
Rumah ikut mati tanpa ayah yang selalu mengatur segalanya. Meja makan selalu hampa bahkan saat sarapan. Tapi ibuku terus hadir di hati orang-orang. Saat pemakaman ayah, ibu tak datang, alih-alih dapat gunjingan miring, malah ada artikel di media yang mengatakan bahwa ibu kesejahteraan negara ini lebih mementingkan urusan negara dan mengesampingkan duka pribadinya. Wajah sedih ibu yang tertangkap kamera ketika ada pertemuan menteri antarnegara di negeri bersalju, mengundang banyak simpati orang. Entah mengapa, ayah, aku meragukan wajah sedih ibu itu. Tapi, ayah, percayalah dalam hatiku aku masih berusaha buta agar aku sepertimu: mencintai ibu bagaimanapun dirinya.
Aku jengah dengan perkotaan dan segala informasinya yang belingsatan amat cepat, tak peduli benar atau salah, aku pergi ke pelosok timur negeri ini. Aku jadi malas lanjut kuliah karena takut rindu dengan pisang goreng keju ala ayah yang selalu menemaniku saat mengerjakan tugas. Malas juga aku mendengar perkataan orang tentang aku bisa diterima perguruan tinggi negeri ini sebab ada ibuku, atau ya karena aku pandai macam ibuku.
Di timur, aku jadi relawan. Mengajar anak-anak perbatasan yang hidupnya serba terbatas, entah barangkali memang dibatasi. Awalnya semua baik-baik saja, aku menemukan rumah di sana. Aku terbiasa makan sagu, berjalan kaki jauh menyusuri bukit, mendengar salak anjing sepanjang hari, menjumpai babi yang bagaikan kucing perkotaan, belajar berenang di laut, terbiasa makan ikan, belajar menari dan main tifa bersama para nona di sana, belajar memasak kepiting bakau kepada para mama. Sampai suatu hari, rekan relawanku menunjukkan satu koran yang berisi wajahku di sana. Penulis berita itu, memaparkan anak menteri kesejahteraan negara ini memiliki jiwa sosial yang tinggi, seperti sang ibu. Penulis opini itu menggadang-gadang aku akan masuk dunia politik, mengikuti jejak ibuku, menggantikan ia duduk di sana. Sejak saat itu, aku jadi sering mual saat makan sagu, saat makan ikan, saat diminta menyanyi atau menari. Aku juga sering lelah ketika harus berjalan jauh, harus berenang dan menangkap ikan.
Entah mengapa tanah surga ini jadi terasa bukan rumah lain. Barangkali sebab tak tak ada kau, ayah. Atau mungkin karena aku tak bisa menepati janjiku padanya, untuk selalu sayang pada ibu bagaimanapun dirinya. Pada ombak timur di suatu sore, aku pamit pulang. Entah pulang ke mana. Sepanjang jalan pulang aku berpikir. Sampai di bandara kulihat seorang anak perempuan kecil menggemaskan menangis, mencari-cari sepotong puzzle yang tak sengaja kutemukan di bawah kakiku, sementara laki-laki yang menggengam tangannya sibuk mengangkat telfon dengan satu tangan lainnya. Entah mengapa aku teringat pada ibuku. Kuberi potongan puzzle ini pada anak berpipi merah itu. Ia langsung semringah. Ia kenalkan aku pada laki-laki yang ia sebut ayah.
Ayah, rasanya ada yang mengisi kehampaan hatiku. Entah senyum anak kecil itu, entah kata yang selalu kugunakan untuk memanggilmu yang kembali kudengar.
***
Dalam pigura itu, bibirnya tak lagi ada dalam pipimu, tubuh puzzle kebanggaanmu telah kehilangan satu sama lain. Kau tak bisa lagi bedakan mana puing matamu atau matanya, mana jemarimu mana jemarinya. Terlalu berkeping-keping. Entah mana yang lebih hancur, pigura itu atau hatimu. Dusta yang kusirami dalam hatimu, tak bisa lagi kaurawat. Nyatanya cintamu tak mampu membuatnya tetap utuh. Peganganmu barangkali terlalu kuat. Tanpa kausadari, ia terbiasa mencari pegangan lain. Mungkin ia ingin menggengam tangan yang menggenggamnya dengan lembut, tak mengungkungnya sekuat engkau.
Gadis berseragam putih abu-abu itu menghentikan hentakan kakinya. Ia menatapmu penuh nanar. Kau terpaku, menatap penuh kecewa gadis itu serta puing-puing pigura di kakinya.
“Ibu,” panggil gadis itu lembut. Kau tak menjawab. Perlahan kau bersimpuh dan menjatuhkan telapak tanganmu pada benda hancur itu. Tangan anak itu mencegah tanganmu menyentuh pecahan itu. Dibimbingnya kau berdiri.
Anak itu menatap kau lekat-lekat. “Bu, memang ada beberapa orang yang ketika kita mencintainya, kita harus buta pada kekurangannya dan hanya melihat kebaikannya, tapi, ibu, cinta semacam itu hanya milik kita. Milik seorang anak kepada ibunya.”
Kau hanya diam. Membayang peristiwa di suatu musim panas yang telah lama kaulupakan.
“Jangan Bu, jangan cintai ayahku jika cinta itu hanya akan membunuhmu perlahan-lahan,” lirih gadis itu sambil memelukmu erat-erat.
Air matamu berjatuhan.
Di luar rumah, dedaunan pun berjatuhan. Rimbun pohon yang menari ditiup angin mengundangmu ke alam mimpi. Kau menjelma buah yang jatuh dari pohon tapi tak ada pohon di sana. Kau menangis seperti saat kau masih kecil. Namun, sebuah pohon yang selama ini kaucari datang menghampiri.
Sebuah tangan membelai pipimu, memintamu bangun dari mimpi. Tapi kau tak ingin bangun, kau ingin bercerita pada pohon itu bahwa akhirnya kau jadi sepertinya dalam soal cinta. Ia bilang kau anak bodoh, kau tertawa, kau bilang kau mengikuti ia yang bodoh. Kalian tertawa. Di sela-sela tawamu, kaudengar isakan tangis putrimu memanggil-manggil. Tapi kau ingin terus di sana, mimpi itu terlalu indah untuk kautinggalkan. Kau ingin terus memeluk seseorang yang dari dulu selalu kupanggil ayah.
Kau ingin melupakan potongan puzzle yang telah hancur berkeping-keping itu. {*}
Cilegon, 6 Juli 2023
0 Komentar