Salam sastra dan literasi
Tak terasa sudah di penghujung tahun 2022, kali ini belistra memanfaatkan sisa-sisa bulan di tahun 2022 ini dengan melakukan hal yang lebih positif. Salah satunya dengan membuat karya melalui kelas menulis sastra. Pada kalistra (kelas menulis sastra) tahun ini mengusung tema “dihimpit cita, dibnagun asa, tulisan berkuasa.”
Terdapat tiga kelas dalam kalistra ini yaitu esai, prosa dan puisi. Untuk kelas pertama yang dibuka yaitu kelas esai, dilanjut kelas prosa atau cerpen dan diakhiri dengan kelas puisi. Pada setiap kelas tentunya diberikan materi oleh pemateri yang kece serta berpengalaman di bidangnya. Kak Wahyu Arya sebagai pemateri esai, kak Dewi Sanovsa sebagai pemateri cerpen, dan kak Fajar Timur sebagai pemateri puisi
Benefit yang didapat tentu banyak, diantaranya E-sertifikat, ilmu yang bermanfaat, dan menambah relasi. Setelah pendaftran di tutup, ternyata peserta yang terkumpul cukup banyak. Selain dari anggota belistra sendiri, ada juga dari yang bukan anggota belistra bahkan dari luar kampus Untirta.
Mereka antusias mengikuti google meet, mendengarkan pemateri, dan pada akhirnya membuat karya
Berikut adalah contoh karya yang dibuat oleh peserta kalistra
Esai
Menjadi Umat yang Dirindukan
Raudhotul Jannah
Mengapa setelah disuguhi petunjuk jalan hidup terbaik pun, kita masih tersesat?
Bukan hal yang mudah menjadi “muslim” di zaman ini. Muslim yang dimaksud bukanlah sekadar orang yang memeluk agama Islam namun orang Islam yang memeluk teguh syariat-syariat Islam di tengah liberalisme yang semakin meraja dan merdeka. Disadari atau tidak, kenyataannya paham kebebasan di zaman ini telah menjajah kita – umat muslim millennial – dalam bersyariat. Perlu diketahui bahwa syariat Islam adalah sebuah hukum tata laksana umat Islam dalam berkehidupan sebab syariat mengatur segala sendi-sendi kehidupan secara lengkap dan rinci.
Syariat dapatlah disebut sebagai tradisi, sedangkan tradisi bersifat kontinu, berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga dapatlah disebut syariat itu sebagai sebuah gaya hidup. Bukan main peran syariat dalam mengatur pola hidup umatnya! – barangkali begitu pula pandangan setiap agama di mata pemeluknya. Dengan bersumber Al-Quran dan hadist yang terjaga kesuciannya, syariat pun senantiasa memelihara kesucian umatnya itu sendiri baik secara ragawi maupun rohani. Syariat bukan hanya mengatur soal tata peribadatan atau hablu minaallah, namun juga thaharah atau kebersihan, kesehatan dengan pengaturan halal dan haramnya, hablu minannas atau pergaulan yang sehat baik kepada teman sejawat maupun kepada orang tua, hingga tata peradilan dan penghukuman, siyaasat atau politik, rumah tangga, warisan, perdagangan dan perekonomian, pendidikan, kesenian, penenangan jiwa melalui dzikir, dan masih banyak lagi.
Jika Karl Max mengatakan bahwa agama hanya sebagai candu, opium masyarakat, dan desah napas keluhan manusia sebagai makhluk yang jiwanya mudah tertekan, makhluk berhati dari dunia yang tak punya hati serta jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Maka untuk saya, Islam lebih dari sekedar candu. Islam adalah pedoman hidup yang jika mengabaikan keberadaan akhirat dan kebenarannya, ia akan tetap menjadi jalan yang indah, jalan yang damai dan sangat teratur, hanif, dan tak ada ketersesatan di dalamnya. Coba bayangkan jika seluruh umat menjalankan syariat Islam dan betul-betul menegakkannya; aturan berpakaian, bertingkah laku, menahan diri, dan hukuman rajam mungkin akan membuat tak adanya perzinahan serta kasus pemerkosaan. Larangan mencuri dan hukum potong tangan akan membuat manusia enggan mencuri. Ah, mungkin dunia akan sejahtera dan damai pula tanpa adanya suap dan korupsi.
“Syariat”, merenungi satu kata itu membuat hati saya sendiri sebagai umat Islam menjadi megah sekaligus damai. Saya kadang mencari-cari, adakah hal di dalam kehidupan ini yang tidak ada pedomannya dalam Islam? Perihal mati dan kehidupan setelah mati pun termaktub dalam Al-Quran. Segala tantangan zaman dari zaman nabi dan rasul hingga zaman millennial ini bahkan kontan relevan. Membahas indahnya syariat memanglah tak ada habisnya, karena itu saya ingin membahas hal lain mengenai syariat Islam, yakni sisi pilu dari eksistensinya di zaman ini. Sebelumnya harus kita ingat kembali bahwa syariat adalah “standar” gaya hidup umat Islam.
Muslimah yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, berkerudung panjang, berkaus kaki, kadang memakai penutup pada pergelangan tangan, atau bahkan memakai cadar, bukankah mereka menjalankan syariat Islam yakni menutup aurat? Memilih menangkupkan kedua telapak tangan saat diajak bersalaman dengan lawan jenis pun, bukankah sebuah syariat Islam yaitu menghindari fitnah dan zina? Mengajak muslim lain untuk pergi salat, mengingatkan saat muslim yang lain menyimpang dari jalan Islam yang hanif, bukankah juga syariat, yakni amar makruf nahi munkar? Ya, tentu mereka hanya menjalankan standar syariat Islam.
Akan tetapi di zaman ini, pemeluk Islam tak betul-betul memeluk keislamannya, orang yang ingin menjalankan “standar umat Islam” yang sesuai dengan syariatnya, haruslah siap dipandang berbeda. Saya rasa banyak yang akan sependapat dengan saya dalam hal ini. Ia yang berusaha menjadi yang seharusnya justru yang merasa terasing. Memilukannya, keterasingan tersebut pun kerap terasa saat berada di tengah kalangan yang sebetulnya mereka pun beragama Islam pula. Seolah Islam hanyalah sebatas status, adapun menaati Islam dan syariat di dalamnya adalah soal pilihan.
Seolah hal-hal wajib seperti salat dan puasa dianggap sebagai opsi sebagaimana halhal sunnah. Sedangkan hal-hal sunnah dianggap sesuatu yang ekstem bila dijalankan, contohnya orang-orang bercadar yang dianggap radikal, dianggap menganut paham yang bermacam-macam, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana dengan hal-hal haram yang dilarang? Pacaran, mabuk, pergaulan bebas, tidak menutup aurat, politik uang? Sungguh, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, hal-hal tersebut justru dianggap wajar! Namun, yang begitu miris, umat di zaman ini mulai gamang dalam membedakan open minded dan toreransi.
Belum lama, kita digegerkan dengan sebuah siaran di akun YouTube seorang public figure yang mengundang pasangan homoseksual dan menyoroti bagaimana kehidupan mereka seolah hal tersebut merupakan sesuatu yang legal, wajar, dan layak dipertontonkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya ialah Islam – yang tentunya mengecam hubungan sesama jenis. Namun letak mirisnya bukan hanya di situ, namun pada beragam tanggapan netizen mengenai hal tersebut, salah satunya adalah tentang istilah open minded yang muncul dalam pendapat orang-orang yang pro dengan konten tersebut. Saya rasa, pemikiran semacam itu muncul sebab kemerdekaan liberalism. Paham kebebasan tersebut mengikis batasanbatasan akidah sehingga umat di zaman milenial ini gamang dalam membedakan mana toleransi dan mana open minded. Adapun kasus konten pasangan sejenis tersebut hanyalah salah satu dari kesilapan anggapan masyarakat pada istilah open minded dan toleransi.
Mungkin segala kisruh mengenai umat Islam dalam menjalankan syariat di atas adalah maksud dari pepatah yang kerap berseliweran mengenai kehadiran Islam, yakni: Islam datang dalam keadaaan terasing dan akan kembali dalam keadaan terasing pula. Sehingga di sini saya akan mengatakan kepada siapapun yang merasa terasing sebab memilih menjalankan syariat, anda hebat dan teruslah istiqomah menjadi umat yang dirindukan! Sebagai umat yang dirindukan, tantangan kita dalam mengarungi dunia mestilah hebat juga.
Namun kita patut berbahagia. Sebab kita telah memiliki “peta perjalanan” dalam menyusuri kehidupan.
Mari kita kembali merengkuh peta perjalanan itu lebih erat, memeluk syariat dalam Al-Quran dan hadist sampai kita sampai pada akhir perjalanan. Mari bersemangat sebab kekasih-Nya telah menunggu kita. Sang kekasih yang sebelum kematiannya mengelu-elukan sebuah umat, umat yang dikatakan paling dekat dengannya melebihi umat-umatnya yang lain. Ya, itulah kita, kita adalah umat yang dirindukan Nabi! Sang Kekasih yang syafaatnya semoga senantiasa menyertai kita.
Lantas, mengapa setelah disuguhi petunjuk jalan hidup terbaik pun, kita masih tersesat? Sebab sebagaimana Rasulullah bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan...” (HR. Bukhori dari Abu Hurairah r.a).
Semoga kita bukanlah umat yang enggan.
Bagaimana Cara Doa Bekerja?
Ninis Musliha
“Menurutmu apakah Tuhan itu baik?” Teman saya membuka sebuah percakapan dengan topik yang cukup berat. Membuat otak saya berpikir sejenak. Lalu saya menjawabnya dengan mantap.
“Baik. Terlampaui baik malah.”
“Apa yang membuat kamu berpikir seperti itu?”
“Karena dia mengabulkan doa-doaku. Ya walaupun tidak semua doa-doaku terkabul karena aku percaya bahwa yang terbaik menurutku belum tentu terbaik di mata-Nya.”
“Apa contohnya? Aku mau tahu.”
“Salah satunya saat aku lulus tes masuk perguruan tinggi. Kalau saja Tuhan tidak memberikanku kemudahan maka kemungkinan aku tidak akan lulus tes itu.”
“Bukankah kamu mendapatkan kemudahan itu dari usaha yang telah kamu lakukan?”
“Ya itu salah satunya. Sisanya karena kehendak-Nya.”
“Kamu tahu, nyatanya aku tidak pernah berdoa untuk itu. Tapi aku tetap lulus tes masuk perguruan tinggi.”
“Tuhan Maha Baik. Itu salah satu contohnya walaupun kamu tidak berdoa tetapi kamu tetap bisa lulus, kan. “
“Lantas untuk apa berdoa kalau begitu? Kamu bilang Tuhan itu baik, terlampaui baik bahkan. Kamu yakin Tuhan itu baik?”
Pertanyaan itu cukup membuat saya meragukan jawaban yang tadi saya berikan di awal. Ada pernyataan yang selama ini selalu dipegang teguh oleh sebagian orang, "Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan". Apa Tuhan mengabulkan doa saya karena itu berhubungan dengan hal yang saya butuhkan? Entahlah nyatanya banyak orang yang gagal lulus tes masuk perguruan tinggi padahal sudah berdoa dan berusaha mati-matian.
Bagaimana cara doa bekerja? Jika kita berdoa untuk dua hal yang berbeda misalnya, Tuhan menilai doa kita yang pertama adalah hal yang memang kita butuhkan. Lalu doa lainnya hanya keinginan kita belaka. Lantas apa Tuhan hanya akan mengabulkan doa kita yang pertama karena memang Ia memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan? Lalu sebenarnya apa definisi kebutuhan menurut Tuhan? Bukankah semua yang kita inginkan adalah hal yang kita butuhkan? Apakah Tuhan hanya mengabulkan doa-doa yang menurut-Nya adalah kebutuhan? Apakah doa-doa yang didasarkan pada keinginan lantas tidak akan dikabulkan?
Kita berdoa agar berumur panjang, memiliki rezeki yang berlimpah, dijauhkan dari segala marabahaya dan penyakit, mendapat jodoh, ingin selalu bahagia sepanjang hidup serta masih banyak lagi. Bahkan jika Tuhan memberikan kita ujian, hati kecil kita selalu berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan dan berdoa semoga ujian ini cepat selesai. Semua doa yang dipanjatkan semata-mata adalah demi terealisasikannya harapan agar dapat menjalani kehidupan yang nyaman. Doa yang kita panjatkan didasarkan pada keinginan. Keinginan kita untuk hidup dengan baik. Rasanya semua orang akan setuju bahwa realitanya hidup itu tidak mudah. Doa adalah salah satu pelipur lara untuk sejenak lari dari realita. Doa membuat orangorang berharap dan memandang suatu permasalahan lebih positif karena meyakini Tuhan akan membantunya.
Mereka lupa bahwa baik kesulitan dan kemudahan keduanya bersumber dari kehendak Tuhan. Tuhan bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi Ia menghadirkan kenikmatan bagi sebagian manusia dan di sisi lainnya Ia menghadirkan ujian yang tiada hentinya. Pernyataan "Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan" mungkin hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang diberikan nikmat oleh Tuhan. Tetapi coba tanyakan apakah Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan kepada anak-anak korban peperangan yang telingannya hanya diperdengarkan suara tembakan. Tanyakan juga pada anak kecil yang menangis karena kelaparan. Tanyakan pada orang tua yang anaknya meninggal karena gizi buruk dan busung lapar.
Bagaimana cara doa bekerja pada mereka yang benar-benar hanya berdoa untuk kebutuhan dan keberlangsungan hidupnya? Jika memang Tuhan memberikan apa yang manusia butuhkan lantas kenapa ada orang-orang yang mati kelaparan? Sampai akhir hayatnya mereka mungkin berdoa hanya demi makanan. Kenapa ada anak-anak yang hidupnya dipenuhi penderitaan? Padahal mereka hanya mengharapkan kenyamanan dan keamanan. Perut kenyang, keamanan, kenyamanan dan kebahagiaan adalah kebutuhan setiap manusia. Tetapi tidak semua manusia bisa mendapatkanya. Mengapa Tuhan tidak memberikan itu kepada semua manusia?
Ya karena itu kehendak-Nya. Mereka yang hidupnya tidak memperoleh ketenangan dan mereka yang kelaparan adalah orang-orang yang mengalami ujian. Tuhan menyayanginya maka dari itu mereka mendapatkan ujian dan sudah seharusnya mereka bersabar, tidak mengeluh, bersyukur dan dapat mengambil hikmah dari ujian tersebut. Begitulah pola pikir religius. Pola pikir religius pasti berpendapat bahwa semua ujian yang diberikan pada setiap manusia pasti berbeda-beda. Ada manusia yang diberikan ujian dengan kelaparan, tidak punya tempat tinggal, tidak memiliki apapun dll. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Jadi jalani saja maka Tuhan akan menaikan derajatnya. Jika ini disampaikan pada orang yang tidak mengetahui apa itu nikmat Tuhan maka semua hal ini hanya omong kosong belaka dari mulut-mulut si religius.
Kalau memang begitu, kasihan sekali orang-orang yang hidupnya menderita banyak kemalangan sedangkan ia hanya disuruh bersabar dan mengambil hikmah dari setiap ujian yang silih berganti datang dalam hidupnya. Coba tukar posisi, masih sanggupkah mereka tidak menyalahkan Tuhan? Jika memang tidak dapat memberikan bantuan maka berhentilah untuk menaruh simpati dengan menyebut nama Tuhan dan berlindung dibalik kedok keimanan. Sungguh itu tidak membantu sama sekali. Lalu bagaimana sesungguhnya cara doa bekerja?
Mungkin itu hanya rahasia Tuhan belaka.
Cerpen
Selamatkan!
Hesti Lestari
“Maaf saja, tapi aku sungguh tidak tertarik.”
Orang itu pergi, hanya menyisakan bau parfumnya yang tertinggal. Raka menatap punggung yang semakin menjauhinya. Jujur saja, Raka merasa punggung itu seperti mengatakan ‘kasihan, ditolak lagi’.
Ini hari kelima Raka mengajak Farhan untuk gabung bersama. Meski begitu, tetap ditolak mentah-mentah dengan alasan tidak tertarik. Raka sungguh muak! Memangnya, apanya yang tidak menarik? Jelas-jelas dirinya yang sok jual mahal. Sialan!
Raka kembali ke PKM jurusan, PKM yang penuh dengan mahasiswa yang sedang merokok. Raka menjelaskan segalanya pada seniornya. Tidak puas dengan hasil yang didapatkan Raka, senior itu mengumpat dan mengutuk. Jika Raka tidak bisa mendapatkan Farhan, maka rencana mereka tidak bisa dilaksanakan.
“Bukannya kau berteman baik dengan anak sialan itu?” Tanya Yayan, senior Raka.
Raka mengangguk. “Dulunya, tapi sekarang dia semakin menjauh, Bang.”
“Karena kau bodoh? Atau karena kau miskin?”
“Kalau karena kedua hal itu, kita enggak bakal bersama sejak SMA. Justru dia yang membantu saya untuk bisa kuliah.”
Senior itu membuang puntung rokoknya. “Aku enggak peduli sih, dengan kisahmu. Pokoknya kau harus dapatkan dia, buat gabung bersama kita. Dengan begitu, aku bisa segera menyelesaikan ini.”
Raka terdiam, sedangkan senior itu kembali bernyanyi bersama dengan yang lainnya.
***
Sebuah tangan mengusap kepalanya. Raka menoleh dan mendapati ibunya sedang tersenyum.
“Ada apa?” Tanya sang ibu. “Dari tadi ibu panggil kok, enggak jawab? Sedang memikirkan apa?”
Raka menggeleng, lantas memeluk ibunya.
“Apa ini? Tumben sekali, peluk ibu seperti ini?”
“Enggak boleh, Bu?”
“Ya boleh, dong. Malah ibu rindu, sudah lama sekali kamu enggak peluk ibu. Semenjak kamu bilang bahwa kamu sudah dewasa.”
Raka terkekeh sambil mendusel-ndusel pada ibunya.
“Apa yang kamu pikirkan?”
Raka tidak kunjung melepaskan pelukannya. “Terlihat jelas, ya?”
“Sangat! Ada masalah dengan orang yang kamu sukai?”
“Mana ada hal seperti itu!”
Ibu terkekeh.
“Begini, Bu,” Raka melepaskan pelukannya. “Sepertinya aku melakukan kesalahan. Aku kan, gabung sebuah organisasi di kampus. Aku berpikir, dengan memperbanyak relasi, itu akan bagus ke depannya. Tapi ternyata proses untuk berada dalam organisasi tersebut sangat sulit. Mungkin bukan organisasinya yang salah, tapi aku salah masuk saja. Malah masuk ke organisasi yang orang-orangnya sungguh membuat lelah. Kalau ibu paham, sekarang tuh, disebutnya toxic. Orang-orang yang memberikan pengaruh negatif, semacam itu.”
“Iya, lalu?”
“Aku tidak bisa keluar dari sana karena aku terlanjur terlibat kesalahan.”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Bukan hal yang sangat fatal, tapi itu akan merusak banyak hal. Ibu, percayalah, aku tidak melakukan kesalahan. Itu hanya jebakan. Mereka memanfaatkanku. Mereka sudah menargetkanku sejak awal. Aku tidak melakukannya dengan sengaja, mereka yang menyebabkan seakan aku yang melakukannya!”
Mata Raka menunjukkan kesungguhan atas ucapannya. Melihat mata putranya yang berkaca-kaca, ibu segera membawanya kembali ke pelukannya.
“Ibu percaya. Lalu, apa yang harus kamu lakukan?”
“Ibu tidak bertanya hal apa yang kulakukan itu?”
“Tidak perlu. Jika kamu dijebak, itu artinya bukan perbuatanmu. Maka apa yang terjadi itu, bukan lagi hal penting bagi ibu.”
Sungguh, memiliki ibu yang pengertian dan perhatian seperti ini adalah berkah terbaik dari Surga. Batin Raka.
“Ibu tahu, aku berteman baik dengan Farhan. Mereka memanfaatkanku dari hal buruk itu untuk mendapatkan Farhan.”
“Mengapa memangnya?”
“Uang.”
Raka tidur di pangkuan ibunya. “Hubunganku dengan Farhan sudah tidak baik. Entah bagaimana tadinya, aku tidak mengerti. Tapi para senior itu mengancamku dengan kelemahanku untuk membuat Farhan mau bergabung bersama kami. Karena dengan adanya Farhan, yang keluarganya adalah konglomerat, maka uang yang kami butuhkan akan terpenuhi.”
“Apa yang seniormu lakukan sehingga membutuhkan banyak uang?”
“Penelitian. Mereka memerlukan uang untuk penelitian tugas akhirnya.”
“Adakah yang bisa ibu bantu?”
Raka menggeleng. “Tidak, jangan lakukan apa pun. Akan aku atasi. Ibu, bisakah ibu mengusap rambutku lagi?”
Ibu Raka tersenyum, lantas mengusap lembut kepala putranya.
***
Entah Dewi Fortuna mana yang saat ini sedang memberkati Raka, di hadapannya kini berdiri dengan jelas manusia yang sudah mengabaikannya selama setahun penuh. Farhan masih mengulurkan tangannya sambil memasang wajah tidak sabar. Sedangkan Raka masih bengong, masih memikirkan ini nyata atau hanya mimpi.
“Tanganku sudah pegal! Kalau tidak kau berikan juga, aku tidak akan mengatakannya dua kali.”
Sadar, buru-buru Raka menyerahkan kertas berisi keterangan persetujuan mengikuti tim penelitian.
“Sungguh? Padahal seminggu kemarin kau masih menolak dengan alasan tidak tertarik.”
“Hm, sekarang tertarik.”
Raka tahu, ada hal yang tidak beres.
“Sungguh?”
“Iya.”
“Benaran?”
“Iya. Di mana aku harus tanda tangan?”
“Di sini. Tapi kau bersungguh-sungguh?”
“Iya. Sudah kutandatangani.”
“Kau yakin?”
“Ada apa dengan kepalamu? Kemarin kau memaksaku, sekarang bertanya berulang-ulang!”
Raka menggaruk kepalanya. Kertas yang ia berikan pada Farhan, diambil kembali. Jelas di sana ada tanda tangannya Farhan.
“Tapi penelitian ini tidak sesuai dengan judul yang kau pilih.”
“Kalau tahu, kenapa sejak sebulan terakhir terus mengejarku?”
Raka bungkam.
“Tidak masalah, aku akan melihat sebaik apa ini. Lalu akan kuputuskan nanti.”
Raka merasa lega karena dirinya selamat, tapi juga merasa bersalah karena memanfaatkan Farhan untuk keselamatannya.
***
Hari ini, tim penelitian yang berisi 3 senior yang merupakan mahasiswa tingkat akhir yang hampir di drop out bersama 5 junior berangkat ke Cianjur. 2 junior di antaranya adalah Raka dan Farhan. Sebenarnya, penelitian ini merupakan proyek dari 3 senior yang dengan seenak jidatnya mencetus ingin meneliti tentang ekosistem yang ada di Cianjur. Tidak ada yang salah dengan idenya, hanya saja penelitian ini akan diterima oleh pihak kampus apabila beranggotakan lebih dari 5 orang. Karena pihak kampus akan melepas 100% mereka, maka segala hal menjadi tanggung jawab para peneliti muda ini. Maka dengan ini, pihak kampus ingin anggotanya banyak agar bisa saling membantu dan mengandalkan. Sungguh perhatian ‘pihak kampus’ ini.
Tinggal di tempat baru merupakan hal yang tidak mudah untuk beberapa orang. Diperlukan penyesuaian diri bagi lingkungan yang asing ini. 6 orang lainnya mengalami kesulitan dan syok pada kultur yang ada, tapi bagi Raka dan Farhan, hal-hal terjadi tampak biasa saja. Itu karena Raka adalah tipe anak yang tenang, sedangkan Farhan memang sudah terlatih untuk menyesuaikan diri di segala macam situasi.
Penelitian telah berlangsung setengah bulan lamanya, tapi 3 senior dan 3 junior masih sering mengeluh. Meski tidak sebanyak saat seminggu pertama mereka datang. Padahal mereka mendapatkan tempat tinggal yang enak berkat kehadiran Farhan. Tapi memang sifat manusia, bersyukur adalah hal kedua setelah selesai dan puas mengeluh.
“Ada apa?” Tanya Raka pada Farhan suatu pagi yang cerah.
Farhan menggeleng.
“Sudah mulai bosan?”
“Iya, penelitian ini sama sekali tidak menarik.”
“Berarti, ingin pulang?”
“Tentu.”
“Kapan?”
Farhan menoleh. “Kau sendiri?”
Raka terdiam. Pasalnya ia memang ingin pulang, tapi tidak bisa. Juga, jika Farhan pulang, maka dirinya tetap akan kena. Hal-hal buruk akan terjadi.
“Aku tidak bisa.”
“Kalau begitu, aku juga,” Farhan mengangguk.
Sinar matahari pagi membelai wajah kedua pemuda tampan itu.
“Sabar, sebentar lagi.” Farhan tiba-tiba berucap.
“Hah?”
“Kau akan bebas. Sebentar lagi.”
“Apa maksud-“
“Kalian bangun jam berapa?”
Suara itu memotong ucapan Raka. Keduanya menoleh dan mendapati Wawan, teman seangkatan mereka berjalan sambil mengucek matanya.
***
Raka terbangun dari tidur siangnya. Saat melihat ke sekeliling, tidak ada satu orang pun yang berada di sekitarnya. Tunggu, ini jam berapa? Saat melihat arloji di tangannya, Raka langsung berdiri. Sial, bagaimana mungkin dia bisa ketiduran sedangkan yang lainnya sedang melakukan penelitian? Raka buru-buru mengenakan pakaiannya dengan rapi, dan segera mencari yang lainnya di tempat yang telah disepakati sebagai letak penelitian pada hari ini. Sayangnya, Raka tidak dapat menemukan siapapun di sana.
Raka terheran-heran lantas bertanya pada penduduk sekitar, apakah mereka menemukan teman-temannya? Salah seorang dari penduduk mengatakan bahwa ke-7 mahasiswa yang melakukan penelitian pergi ke sebuah bukit di belakang desa.
Setelah berterima kasih, Raka kemudian segera menyusul yang lainnya pergi ke bukit yang dimaksud. Meski di sebut bukit, tingginya malah lebih cocok untuk disebut dengan gunung. Pencarian cukup sulit, tapi berkat semak-semak yang tumbuh, Raka bisa mengenali ada sebuah jejak yang telah lewat di jalan tersebut. Sudah pasti itu teman-temannya.
“Kalian di sini rupanya,” sapa Raka ketika pertama kali menemukan yang lainnya sedang melihat pemandangan indah dari atas bukit.
“Raka ternyata, lihat sini. Desa lumayan luas juga ternyata. Itu gunung apa ya? Tinggi sekali. Eh, itu batas lautan ya? Kabutnya lihat! Raka, sini cepat!” Wawan terlihat sangat antusias.
Raka langsung tertarik. Dia ingin segera menghampiri Wawan namun langsung dihadang Farhan.
“Kenapa ada di sini?” Tanya Farhan dengan suara sepelan mungkin.
“Hah? Tentu saja melanjutkan penelitian, kan?”
Farhan terlihat marah, “kau seharusnya ada di rumah!”
“Aku sudah bangun. Maaf tadi ketiduran, hehe.”
Farhan mencengkeram tangan Raka. “Kembali ke bawah!”
“Apa sih, Farhan?”
“Woi, kalian berdua ngapain?” Tanya salah senior, Yayan yang melihat keduanya berbicara dengan suara rendah, seakan tidak ingin yang lain mendengarnya.
Raka melewati Farhan, lantas mendekat ke senior tersebut.
Farhan menggigit bibir bawahnya. Dia melihat jarum jam yang terus berputar di pergelangan tangannya. Tidak ada waktu lagi, dia harus cepat.
Saat hendak menghampiri Raka, tanah tiba-tiba saja bergoyang. Farhan terkejut! Sialan, waktu yang diberitahukan padanya sama sekali tidak sesuai! Ini belum saatnya gempa terjadi, tapi tanah sudah bergoyang-goyang.
Tanah tempat yang lainnya berpijak merupakan tanah gembur. Tanah yang bisa longsor kapan saja karena posisinya merupakan jurang. Farhan panik bukan main, Raka ada di atas tanah itu. Tanpa pikir panjang, Farhan segera berlari ke arah Raka. Tapi gempa lebih cepat membuat tanah itu runtuh dibandingkan langkah Farhan.
Mereka yang ada di sana ikut jatuh bersama dengan tanah di bawahnya. Farhan sekuat tenaga melompat untuk menggapai Raka.
“Pegang yang erat, brengsek!” Teriak Farhan dengan sangat kesal. Pasalnya Raka masih memproses kejadian yang terjadi, jadi dia masih diam menggantung tanpa balik memegang tangan Farhan.
“RAKA!”
“Hah?” Raka tersadar. Ia segera menahan berat badannya dan memegang tangan Farhan erat-erat.
“Ta-tarik! Cepat tarik! Gempa, ada gempa! Farhan, ada gempa!”
“Bodoh!”
Farhan berhasil menaikkan Raka yang panik.
“Tenanglah, kau sudah selamat!”
“Tapi yang lainnya! Ayo, cepat turun ke bawah!” Teriak Raka, meninggalkan Farhan yang masih terengah-engah.
Farhan menatap datar ke arah Raka yang sedang cemas di depan tumpukan tanah. Keduanya sudah berada di bawah bukit, di tanah lapang.
“Kita harus memanggil penduduk untuk membantu mengeluarkan yang lainnya.”
Baru saja Raka melangkah, dia teringat kembali. “Tidak, tidak, tidak. Jaraknya terlalu jauh. Mereka bisa mati karena kehabisan napas, karena tertimbun. Kita harus segera mengeluarkan mereka. Farhan, cari sesuatu untuk menggali!”
Raka sudah menggaruk tanah itu menggunakan tangannya. Sekuat tenaga, laki-laki itu berusaha untuk menolong yang lainnya.
“Hentikan!”
“Omong kosong, mereka bisa mati!”
“Mereka sudah mati!”
“Jika kita cepat, kita bisa menolong mereka!”
“Mereka tidak akan terselamatkan meski detik ini juga kau berhasil mengeluarkannya!”
“Manusia tidak mudah mati. Ini baru beberapa menit mereka terkubur, mereka masih punya kesempatan!”
“Tidak, mereka tidak punya itu?”
“Farhan!”
“Raka!”
Keduanya saling menatap tajam. Hening sesaat di antara keduanya.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Raka dengan penuh penekanan.
“Apa maksudmu?”
“Aku tahu, ada yang tidak beres sejak kau tiba-tiba setuju untuk gabung di penelitian ini.”
“Itu hanya asumsimu.”
Raka kembali menggali karena tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban meski terus mendesak pada Farhan. Semakin dalam menggali, tangannya mulai berlumuran dengan tanah yang bercampur dengan darah. Melihat ini, Raka semakin yakin ada yang tidak beres dan semakin mempercepat galiannya.
Benar saja. Sesuai yang dikatakan oleh Farhan, mereka sudah mati meski Raka dengan cepat menyingkirkan tanah yang mengubur mereka hidup-hidup. Tertimbun bisa menjadi alasan juga orang yang berhasil Raka temukan telah meninggal, tapi alasan yang pasti adalah bambu runcing yang dengan ganas menusuk banyak titik tubuh itu.
Raka mundur, tubuhnya bergetar hebat. Tubuh itu benar-benar habis ditusuk bambu-bambu yang ditanam dengan kokoh.
“Sudah kubilang, jangan menggalinya.”
“Apa yang sebenarnya....”
“Ibumu menghubungiku. Aku menyelidikinya, jadi aku tahu kebenarannya. Aku menyetujui penelitian ini memang karena ingin membunuh orang-orang yang telah menyulitkanmu. Sebenarnya aku merencanakan cara lain. Tapi kebetulan, aku mendapati kabar akan adanya gempa. Aku kemudian meminta orang-orangku untuk menyiapkan bambu runcing di balik semak-semak ini, agar ketika mereka jatuh, mereka langsung tertusuk seperti ini. Aku-“
Raka langsung menonjok wajah Farhan hingga membuatnya tersungkur ke tanah. Farhan terkekeh dengan keadaan ujung bibirnya yang berdarah. Tiba-tiba sesuatu bergerak. Keduanya menoleh ke belakang dan mendapati Wawan yang berusaha keluar dari tanah.
“Sial, masih ada yang tidak mati!” Farhan bangkit dan berlari menuju Wawan, tapi Raka segera menabrakkan tubuhnya hingga kedua terjatuh.
Raka duduk di atas Farhan lalu menonjok habis wajah Farhan.
“Hentikan! Biarkan dia hidup!”
Farhan membalikkan posisi, kini ia yang ada di atas Raka. Farhan segera menonjok Raka sambil bilang, “aku melakukan ini karena dirimu, aku semua ini untukmu, sialan! Kenapa kau tidak berterima kasih padaku?!”
“BAJINGAN! KAU MEMBUNUH ORANG, APAKAH KAU TIDAK SADAR?” Raka mengubah posisi, kini ia yang berada di atas Farhan.
Farhan terkekeh, tangannya mencengkeram kerah baju Raka. “Sialan, membuatku tertawa saja. Lalu bagaimana denganmu? Kau memerkosa orang bersama senior tercintamu dan orang-orang yang ikut penelitian ini. 1 wanita digerayangi 7 laki-laki? Siapa yang bajingan di sini? Memerkosa perempuan lalu membunuhnya. Kau juga membuang jasadnya begitu saja! Kau bahkan sangat biadab! Bukan lagi, kau mengedarkan narkoba di kampus, haha. Dijebak? Senior menjebakmu? Manusia tolol mana yang telah melakukan semua kesalahan itu lalu meyakini bahwa dirinya dijebak, tapi tidak juga bertobat! Jika sekali, aku bisa memercayai kau diberi obat hingga hilang akal. Tapi kau sudah memerkosa 3 wanita! 2 wanita ini masih hidup, tapi kalian gunakan lagi ketika kalian menggila! Sialan, bagaimana bisa sahabatku menjadi orang seperti ini? Hahaha.”
Raka duduk mematung di atas orang yang saat ini tengah tertawa habis-habisan.
“Dulu kau menyelamatkanku yang ingin bunuh diri karena merasa kesepian. Berkatmu, aku tahu rasanya memiliki saudara, memiliki seseorang yang bisa diajak berbicara. Tapi kau menjadi rusak begini karena aku terlalu memanjakanmu. Membolehkanmu melakukan apa pun semaumu dengan segala keperluan yang aku penuhi, kau menjadi sombong dan tidak tahu diri. Jangan berpura-pura suci lagi, aku tahu kau menjadi bajingan sejak gabung bersama mereka. Sekarang, aku ingin membereskan kesalahan yang kuperbuat. Akan aku jadikan dirimu terbebas dari mereka.”
Farhan menyingkirkan Raka yang masih mematung karena syok. Dia tidak menyangka Farhan akan mengetahui semuanya secara detail. Raka hanya bisa terdiam, memerhatikan apa yang akan dilakukan Farhan.
Sambil terbatuk-batuk, Wawan berusaha menghirup udara yang ada. Posisinya terlentang karena kelelahan. Wawan mendengar pembicaraan mereka, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak karena kelelahan.
Wawan merasakan seseorang menghampirinya. Matanya yang melihat langit kini berganti menjadi melihat kepala Farhan yang muncul dari bagian atas kepalanya. Sial, menyeramkan!
Farhan tersenyum pada Wawan, kemudian menubruk wajah Wawan dengan batu besar yang dipungutnya. Sekali, dua kali, tiga kali. Farhan terus menubruk wajah itu berulang-ulang. Hingga wajah itu hancur, hingga suara tubrukan itu semakin terdengar terendam karena darah semakin banyak. Wajah itu sudah tidak berbentuk. Farhan memukul bagian atas kepalanya, hingga otaknya terlihat hancur, barulah ia berhenti.
Farhan terduduk, kemudian menoleh pada Raka, menunjukkan wajahnya yang menyengir dan sudah dipenuhi dengan darah. Kepuasan sangat tergambar dari ekspresinya.
“Sekarang tinggal kita. Kita kembali bersama seperti dulu. Hanya aku dan kau, Raka, sahabatku dan saudaraku!”
Raka diam, tahu bahwa dirinya sudah tidak bisa apa-apa lagi.
Ibu, Bolehkah Cerita Itu Kuulang Lagi?
Roudhotul Jannah
Lengking derit pintu terdengar pilu saat sebuah pintu kayu dibuka perlahan. Tak ada kehidupan lagi di dalamnya selain keluarga laba-laba yang makin mesra. Tak ada lagi berkat, padahal di sepetak ruangan pengap ini, dulu, berkat itu datang bersama kain putih serupa kafan yang dikawinkan dengan cairan malam lewat canting yang menari dalam genggaman sang ibu. Tapi, tarian canting dalam genggaman sang ibu itu tak ada lagi. Kini, berkat itu telah usai.
Seorang perempuan menggelung rambutnya, ia terbatuk kala menyibak kain batik bercorak bunga sepatu yang menutupi pintu sebuah lemari, tampak lehernya yang jenjang dan putih. Sepasang bola mata dengan lincah menggeledah kotak pengap berisi perkakas itu. Dilihatnya benda-benda panjang berujung runcing yang dulu kerap dipakai suaminya untuk membetulkan TV yang rusak. Meski dulu sering melihat sang suami menggunakan benda-benda itu, si perempuan tak tahu, mana yang bisa digunakan untuk membuka baut pada cangkang TV. Dulu, suaminya, biarpun suka berputus asa dan pecundang bukanlah orang yang harus diambilkan segala kebutuhannya.
Karena takut salah ambil, maka perempuan itu berniat membawa sekotak perkakas itu. Ia tutup kembali pintu lemari. Ada suara langkah kaki. Tiba-tiba punggungnya meremang, merasakan kehangatan. Seseorang dengan jarak amat dekat berdiri di belakang punggungnya. Ia melihat seorang lelaki dari cermin lemari yang telah usang dihinggapi debu. Darahnya berdesir. Desir yang telah lama ia lupakan. Lelaki itu berbisik, “TV-nya sudah menyala”, lalu terdengar suara serial kartun yang disoraki kegiarangan anak-anaknya.
***
Setelah mengumpulkkan reranting, menimbun gundukan sampah dapur yang sengaja dibawanya dari rumah, kemudian menyalakan api di atas kuburan suaminya, Ratih tetap tak bisa meredamkan amarahnya. Api bukan hanya membara di atas pusara tanpa nisan suaminya tapi juga semakin memanas di dalam dadanya. Barangkali api tak bisa dilawan dengan api, maka sekonyong-konyong ia berlari ke sungai yang tak jauh dari sepetak ladangnya. Ia menceburkan diri, menenggelamkan seluruh tubuhnya dari kaki hingga ubun-ubun, bersamaan ia tenggelamkan pula air matanya yang berlinangan penuh luka. Namun, tak lebih dari tiga puluh satu detik, tubuhnya langsung menggigil kedinginan. Ratih tak tahan. Dengan terengah-engah ia mencuat dari dalam air sungai. Perempuan berbadan kurus kering dengan cepolan rambut terlepas –yang menjadikannya terurai basah– terbatuk-batuk di batuan sungai. Badannya terasa beku, tetapi tidak dengan sesuatu di dalam dadanya. Api amarahnya tak padam, semakin membara dan sesak.
Maka dengan api yang masih menyala-nyala dari dalam dadanya yang menembus pada kedua bola matanya juga, Ratih akhirnya hanya bisa menangis sembari menuyusuri jalan setapak dengan langkah gontai. Tubuh rampingnya tercetak di balik baju daster bunga-bunganya yang kontan basah. Bibirnya kebiruan. Tangan dengan jemari yang keriput pucat itu pun memeluki tubuhnya sendiri yang mulai dikerubungi angin dan juga tabun yang berseliweran. Memang, marah tak bisa diredamkan dengan amukan, pikirnya kemudian, maka ia pun ingat juga pada kata pulang.
Dilihatnya lagi kuburan suaminya –yang baru setengah jam lalu ia bakar– gundukan tanah di tengah-tengah ladangnya itu penaka gunung habis meletus yang menyisakan tabun berkelun-kelun menggapai langit yang makin sore. Tabun kelabu terus membumbung tinggi, berkesiur ditabrak angin dan kocar-kacir menciptakan kabut di sekitar ladang milik Ratih. Bukannya puas telah membawa panas neraka lebih cepat kepada bangkai sang suami, si pecundang tak bertanggung jawab itu, Ratih malah semakin dirundung sesak hati.
Sungguh, sungguh hati dan raganya telah lelah setengah mati. Sungguh, punggungnya terasa amat berat. Sungguh, kepalanya seperti mau pecah, tenggorokannya terasa disumpal sesuatu, amat berat. Dadanya pun amat perih. Tapi, ia tak berdaya dan tak tahu harus bagaimana. Bumbungan tabun itu masih dipandangi Ratih. Ia rasa tabun itu ialah dirinya. Setelah berusaha dengan tertatih-tatih, menyusun harapan dan puing-puing impian untuk melihat anak-anaknya sekolah tinggi akhirnya berantakan juga, semua usahanya diterpa masalah yang tak usai-usai.
Dasar bodoh kau Ratih! Bodoh.. kau memang bodoh! Bodoh bodoh bodooohhh!!!! Yang bisa Ratih lakukan barangkali hanya memaki dirinya sendiri –ia yang bodoh, ia yang tak sekolah, ia yang tak berpendidikan, ia yang amat naïf, ia yang merindukan kehangatan– sambil memukuli tempurung kepalanya dan terus berjalan gontai. Dasar bodoh! Bodoh bodoh bodoh bodoh!!!!!
Bodoh. Setelah terus mengulangi satu kata itu ia jadi teringat mendiang ibunya yang sering mengatainya anak bodoh. Bodoh karena memilih membantu usaha sang ibu daripada bersekolah, bodoh karena memilih lelaki tak mapan untuk dijadikan suami. Dan baru sekarang ia rasa ibunya memang benar, ia anak bodoh! Ratih mendongak melihat desanya yang berada di puncak bukit. Rumahnya adalah rumah pertama yang ia lihat. Rumah dengan atap paling tinggi. Rumah dengan berkat paling disyukuri semua penduduk di desanya. Pada masanya. Ya, karena setiap berkat ternyata punya masa. Barangkali agar manusia tak lupa, bahwa hanya yang kuasa yang abadi tak kenal masa.
Ratih masih menyeret kakinya dengan gontai menuju rumah. Dari pematang sawah, ia lihat desanya sambil terus mendongak. Pada langit kemerahan yang membuat rumahnya perlahan-lahan terlihat makin gelita, ia teringat, sekitar dua puluh tahunan yang lalu, di suatu malam, tak ada lilin yang menyala di beranda rumah-rumah warga yang beranak gadis. Sungguh sebuah anomali. Tak ada wewangian yang mengusik hidung kecuali harum melati di halaman rumah. Malam itu rupanya para gadis berbondong-bondong datang ke rumah kami, rumah dengan atap paling tinggi. Mereka mau ikut merubungi berkat. Tak ada hasrat memenuhi rayuan malam. Malam ini mereka mau menggenggam malam yang lain. Yaitu malam yang digarang ibu di atas kompor. Malam yang dibawa ibu setelah kepergiannya mencari berkat, yang ketika dilabuhkan di atas mori, akan melahirkan coretan batik nan elok, meneduhkan mata.
Senandung nyanyian ibu yang biasa ia nyayikan sambil memangku mori dan membiarkan canting di tangannya menari, tiba-tba terdengar di telinga. Ratih mulai bicara dengan dirinya sendiri kukira desa ini telah berubah sejak tiga dekade yang lalu, sejak suasana Desa Kembang yang turun-temurun diceritakan tak pernah dijumpai lagi. Ya, tak ada lagi temaram lilin di depan rumah-rumah warga yang punya anak gadis, atau warga yang suaminya dalam perantauan. Tak ada lagi keharuman di sepanjang jalanan desa yang melampaui wangi melati. Namun gulungan kabut yang menyelimuti rembulan di malam hari, perlahan mulai menghantui.
Kukira, desa ini telah berubah sejak tiga dekade yang lalu, sejak kelahiran seorang bayi perempuan nan ayu yang membuat sang ibu mengiba dan bertanya-tanya. Mengiba sebab ia telah jadi seorang ibu di usianya yang muda, mengiba sebab ia telah punya anak tanpa punya seorang suami, mengiba juga sebab ia punya seseorang yang hidup-matinya bergantung pada dirinya sebagai seorang ibu. Sang ibu itu juga dirundung pertanyaan saat menatap mata kecil si bayi yang amat cemerlang. Haruskah bayi perempuan ini juga kelak akan ikut mekar dan menyuguhkan kecantikannya yang amat harum ke sembarang kumbang?
Tidak. Seorang ibu pasti tak mau melihat putrinya menderita hidup dalam genangan yang kelam. Hidup yang turun-temurun membuat anak lelaki tak pernah terlahir untuk tinggal di desa ini. Maka, tiga tahun sejak bayi perempuan nan cantik itu akhirnya berhasil disapih agar tak lagi menetek pada puting susu ibunya, sang ibu itu pergi mencari sebuah bakat! Bakat yang membawa berkat. Namun, setelah kukira desa ini dijunjung berkat sejak tiga dekade yang lalu, rupanya luntur juga berkat itu. Benar katamu, Ibu, lelaki itu memang durjana, tak tahu malu, lelaki putus asa. Benar katamu bahwa aku bodoh. Tapi ibu, apa yang harus kulakukan buat anak-anaku, Ibu? Haruskah kunyalakan lagi, lilin di desa ini pada malam hari? Haruskah kutabur lagi semerbak keharuman yang mengalahkan wangi melati?
Kidung ibu yang masih melagu dalam kuping Ratih terdengar bersilir-silir meluluhkan nyala api dalam dadanya, menyisakan sesak. Tapi alam seolah tak mau Ratih merasa tentram barang sejanak. Kidung sang ibu malah disahuti embikan kambing yang sedang diseret pemiliknya untuk pulang ke kandang, beradu juga dengan kokokan ayam yang memanggil anaknya agar pulang. Ratih yang limbung kembali ingat pulang.
Hari tambah gelap. Jika bukan karena mengingat buah hatinya yang pasti menunggunya di rumah, mungkin Ratih telah merebahkan diri pada api di kuburan suaminya, atau membiarkan tubuhnya tenggelam memasuki kedalaman air sungai, dan menyusul suaminya: menjadi pasangan pecundang yang serasi. Kemudian membiarkan sang ibu dari alam baka meneriakinya ‘anak bodoh, dasar anak bodoh!’. Tapi, Ratih masih seorang ibu, ia takkan meninggalkan buah hatinya. Ia lah ibu yang mengiba, ibu yang sekarang terus bertanya-tanya, ia harus bagaimana.
***
Hari yang melelahkan. Laila menyeka keringat di dahinya sambil mendudukan diri di kursi kayu, menghela napas, lalu menuangkan air dari teko ke dalam gelas yang tersedia di atas meja sambil celingukan mencari kemana ibunya pergi. Ia tegak air tawar itu sampai terdengar bunyi glek-glek-glek. Ahhh, segar sekali.
“Uh, ternyata menyetrika baju rasanya melelahkan,” ungkap Laila. Leher dan pinggangnya sedang pegal-pegal. Padahal hanya satu setelan seragamnya ditambah dua lagi setelan seragam Luki dan Lika. Oiya, ditambah lagi satu baju baru ibu yang menggantung di lemarinya, ia yakin itu baru karena belum pernah melihanya, tapi mestilah baju itu mungkin baru, baju itu kusut dan agak bau keringat. Maka sebagai anak yang berbakti, Laila menyetrikakannya juga. Laila merenung, ia jadi merasa kasihan pada ibunya, karena biasanya sang ibu menyetrika semua baju. Pasti lebih melelahkan. Pantas dulu ibu membayar dua sampai tiga orang penatu untuk menyetrikakan kain-kain batik pesanan yang dulu terlampau banyak. Dulu, sebelum usaha produksi batik turun-temurun itu pailit.
Hati bocah perempuan berpipi tambun itu jadi bungah mengingat sekarang ia dan kedua adiknya akan masuk sekolah, sekolah betulan, bukan daring. Jadi kita harus pakai seragam tiap hari. Seragam yang betul rapi dan bersih. Karena guru akan melihat kita langsung bukan dari sebalik layar gawai. Mereka akhirnya akan merasakan sekolah setelah dua tahun belajar di rumah –belajar yang entah menghasilkan apa, sebab tak ada guru yang mau datang menanjaki bukit desanya. Ditambah ibunya juga tak bisa baca, ia hanya tahu corak batik dan menjumlahkan uang saja. Sampai sekarang, Laila hanya bisa mengeja namanya: L-A-I-L-A. Salahkan sang Ayah yang keburu mati sebelum mengajarinya huruf-huruf lain.
Terdengar debam pintu depan terbuka diikuti langkah gaduh orang yang saling kejar, lalu saling merengek seperti berebut sesuatu. Ah, pasti adik-adiknya, gumam Laila. Ia pun menghampiri ruang tengah. Dua bocah berwajah mirip dan baju berwarna sama pula, sedang berebut remote TV. Laila bingung. Mengapa berebut? Bukannya TV yang gagah di atas meja itu hanya tinggal bangkai. Sudah mati sejak kematian ayah sebelas bulan lalu? Pikirnya. Laila pun merebut benda berbentuk balok itu dari genggaman Luki, ia meringis sedangkan Lika tertawa. Ditekannya tombol warna merah dan memang rupanya TV itu telah hidup lagi dari mati surinya.
“Wah, ini nyala lagi dari kapan?” Tanya Laila penasaran.
“Kemarin pas Mbak Ila beli baju seragam sama Bik Ijah,” jawab Lika.
Suara O panjang terdengar dari mulut Laila. Luki dan Lika mengangguk sambil bersitatap sebagai kode akan meraih remot dari tangan sang kakak. Mereka berhasil, bersorak kegirangan. Tapi, tak ada serial kartun apapun saat itu. Semua stasiun TV menyiarkan berita mengenai pemulihan pascawabah dan kebangkitan ekonomi hingga pendidikan yang digadang-gadang, Indonesia Pulih Pendidikan Bangkit jadi slogan. Sontak dua bocah kembar itu kecewa. Sementara Laila terpaku menatap berita itu, bukan karena tertarik atau mengerti, tapi karena ia benci TV, lebih-lebih serial berita. Setiap melihat TV ia jadi ingat ayah. Ayah yang terkapar di kamar mandi usai menonton berita di TV. Aku tak mengerti bagaimana sebuah kabar dari televisi bisa membuat orang mengakhiri hidupnya? Pikir Laila.
“Membosankan”, ucap Luki dengan wajah masam. Wajah saudari kembarnya, Lika juga sama masamnya.
“Kita cobain seragam buat besok aja, yuk!” Seru Laila ditanggapi anggukan semangat kedua adiknya.
Siul jangkrik mulai terdengar, mengalahkan embikan kambing dan kokokan ayam, mengiringi langkah Ratih sampai pintu belakang rumahnya. Ia harus segera mandi, berhenti jadi orang bodoh dan kembali jadi ibu yang baik di depan anak-anaknya. Diputarnya tulak pintu kayu itu dengan lemas. Dengan bersijingkit ia menuju kamar mandi, tapi aneh, ia tak mendengar suara apapun. Kemana agaknya anak-anaknya? Ratih cemas. Mereka kemana? Ratih berlari kecil ke ruang TV, ke kamarnya, ke kamar anak-anaknya, tapi tak ada.
Bibir perempuan itu makin biru. Bajunya hampir kering di badan. Ia sudah sangat lemas, kunang-kunang berlarian di atas kepalanya sampai suara tawa Luki dan Lika terdengar dari beranda. Tergopoh-gopoh ia menghampiri beranda rumah. Dan alangkah sejuk pemandangan di depan matanya. Ia seperti melihat lagi mimpinya. Mimpi yang rasanya makin jauh sejak hari ini. Anak-anak itu, mereka menunggu sang ibu di beranda rumah dengan mengenakan seragam merah putih yang esok akan dipakai sekolah.
“Ibu….”, panggil Laila, Lika, dan Luki bersamaan sambil berdiri menghampiri ibunya yang telah kumal.
“Bu, bagus ngga?” Tanya Luki diikuti Lika yang menanyakan hal yang sama sambil memegangi rok merahnya.
Kunang-kunang beterbangan lagi di kepala Ratih membawa ingatannya pada segepok uang tabungannya yang digondol lelaki penipu itu. Lelaki dengan punggung hangat yang kurang ajar itu. Penipu berkedok tukang reparasi TV. Kenapa ia begitu bodoh? Ratih merutuki dirinya. Dilihatnya senyum anak-anaknya yang lugu serupa mori yang belum dikenai malam. Astaga, bagaimana esok mereka daftar sekolah? Itu satu-satunya sisa uang yang kupunya! Ratih dilanda pusing yang amat sangat. Kunang-kunang semakin banyak-semakin cepat beterbangan di pelupuk matanya.
O ibu, akulah ibu yang mengiba, ibu yang ketika melihat wajah anak-anaknya terus bertanya-tanya, aku harus bagaimana? Haruskah kunyalakan lagi lilin di desa ini pada malam hari? Haruskah kutabur lagi semerbak keharuman yang mengalahkan wangi melati dalam tubuhku, dan kubiarkan bunga-bunga bermekaran sepanjang malam, mengundang kumbang belang. Ibu, bolehkah cerita itu kuulang lagi? …..[*]
Puisi
Soal Langkah
Karya: Maulida
Aku melakukan apa yang aku mau
Melakukannya atau tidak, aku akan istirahat dulu
Kehidupan ini bukan ajang mencari pemenang
Melainkan untuk siapa saja yang ingin berjuang
Jika kau bilang pencapaian adalah soal kekayaan
Sungguh tiada arti lagi makna juang
Kedua mata seolah buta dengan waktu berharga yang kau lewati
Nikmati saja kataku
Perjalanan hidup bukan hanya tentang siapa yang paling kaya
Bukan juga tentang siapa yang paling cepat menuju tingkat tertinggi tahta kehidupan
Perlahan namun pasti, seperti kura-kura yang mengalahkan kelinci
Tak ada kali ketiga
Eka
Menyingkap jendela aku membiru
Ada bayang mata indahmu seakan tersentuh
Penuh makna namun runtuh
Semakin hening, semakin membisu
Duduk pada sudut kosong
Merindukan peluk dan pelikmu
Yang tak pernah lekang sembunyi dengan sembrono
Memutar lagu temani haru, air mata membanjiri kalbu
Kali kedua, lagu favoritmu
Katamu minta diberi kesempatan kedua
Namun malah tak tahu diuntung
Aku sudah menyerah, tak kan ada kali ketiga
Suara Di Kain Hitam
Syifa Mufada Khairunnisyah
Di antara kita ada banyak bisik di pikiran
Detik selalu menemani
tapi kita masih enggan ditemui
Suara mulut kita sama dibungkam
Dibiarkan semakin tenggelam dalam luasnya laut pikiran
Katanya, suara kita cukup redam, biarkan berlari dalam pikiran saja.
Anggaplah laut biru yang berbicara di antara kawanan penyu
Dipahamkan pun tak akan pernah bermakna
yang terdengar hanya debur ombak yang paling cepat menepi
Kata hanyalah suara mulut yang teredam rencana dan bualan
Sedang kita perlu kenyataan dan tindakan
Tapi suara kita terlanjur dipaksa hilang tanpa jejak
Biarkan saja hilang seperti itu
Biar sakit dan kisah kita terus terkenang
Bila sampai nanti kita sama merindu
Pasang saja spanduk hitam di depan istana, tuliskan kamisan.
Biarkan mulut orang lain saja yang bersuara
Kita relakan suara kita teredam dan hilang
Tapi nama kita akan abadi dalam kain hitam
0 Komentar